Widget HTML #1

Konsep Dasar Keamanan dan Keselamatan


Pendahuluan

Keamanan adalah keadaan bebas dari cedera fisik dan psikologis atau bisa juga keadaan aman dan tentram (Potter& Perry, 2006).

Perubahan kenyamanan adalah keadaan di mana individu mengalami sensasi yang tidak menyenangkan dan berespons terhadap suatu rangsangan yang berbahaya (Carpenito, Linda Jual, 2000).

Kebutuhan akan keselamatan atau keamanan adalah kebutuhan untuk melindungi diri dari bahaya fisik. Ancaman terhadap keselamatan seseorang dapat dikategorikan sebagai ancaman mekanis, kimiawi, retmal dan bakteriologis.

Kebutuhan akan ke aman terkait dengan konteks fisiologis dan hubungan interpersonal. Keamanan fisiologis berkaitan dengan sesuatu yang mengancam tubuh dan kehidupan seseorang. Ancaman itu bisa nyata atau hanya imajinasi (misalnya: penyakit, nyeri, cemas, dan sebagainya).

Dalam konteks hubungan interpersonal bergantung pada banyak faktor, seperti kemampuan berkomunikasi, kemampuan mengontrol masalah, kemampuan memahami, tingkah laku yang konsisten dengan orang lain, serta kemampuan memahami orang-orang di sekitarnya dan lingkungannya. Ketidaktahuan akan sesuatu kadang membuat perasaan cemas dan tidak aman (Asmadi, 2005).

Klasifikasi Kebutuhan Keselamatan atau Keamanan

1. Keselamatan Fisik
Mempertahankan keselamatan fisik melibatkan keadaan mengurangi atau mengeluarkan ancaman pada tubuh atau kehidupan. Ancaman tersebut mungkin penyakit, kecelakaan,bahaya,atau pemajanan pada lingkungan. Pada saat sakit, seorang klien mungkin rentan terhadap komplikasi seperti infeksi, oleh karena itu bergantung pada profesional dalam sistem pelayanan kesehatan untuk perlindungan.

Memenuhi kebutuhan keselamatan fisik kadang mengambil prioritas lebih dahulu di atas pemenuhan kebutuhan fisiologis. Misalnya,seorang perawat perlu melindungi klien dari kemungkinan jatuh dari tempat tidur sebelum memberikan perawatan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (Potter & Perry, 2005), di sini perawat memasang pelindung klien.

2. Keselamatan Psikologis
Untuk selamat dan aman secara psikologi, seorang manusia harus memahami apa yang diharapkan dari orang lain, termasuk anggota keluarga dan profesional pemberi perawatan kesehatan. Seseorang harus mengetahui apa yang diharapkan dari prosedur, pengalaman yang baru, dan hal-hal yang dijumpai dalam lingkungan. Setiap orang merasakan beberapa ancaman keselamatan psikologis pada pengalaman yang baru dan yang tidak dikenal (Potter & Perry, 2005).

Orang dewasa yang sehat secara umum mampu memenuhi kebutuhan keselamatan fisik dan psikologis merekat tanpa bantuan dari profesional pemberi perawatan kesehatan. Bagaimanapun, orang yang sakit atau cacat lebih renta untuk terancam kesejahteraan fisik dan emosinya, sehingga intervensi yang dilakukan perawat adalah untuk membantu melindungi mereka dari bahaya (Potter & Perry, 2005).

Keselamatan psikologis justru lebih penting dilakukan oleh seorang perawat karena tidak tampak nyata namun memberi dampak yang kurang baik bila tidak diperhatikan.

3. Lingkup Kebutuhan Keamanan atau Keselamatan
Lingkungan Klien mencakup semua faktor fisik dan psikososial yang mempengaruhi atau berakibat terhadap kehidupan dan kelangsungan hidup klien. Di sini menyangkut kebutuhan fisiologis juga. Teman-teman pasti masih ingat kebutuhan fisiologis kita, itu lho.. yang terdiri dari kebutuhan terhadap oksigen, kelembaban yang optimum, nutrisi, dan suhu yang optimum akan mempengaruhi kemampuan seseorang.

Cara Meningkatkan Keamanan

  • Mengkaji tingkat kemampuan pasien untuk melindungi diri;
  • Menjaga keselamatan pasien yang gelisah;
  • Mengunci roda kereta dorong saat berhenti;
  • Penghalang sisi tempat tidur;
  • Bel yang mudah dijangkau;
  • Meja yang mudah dijangkau;
  • Kereta dorong ada penghalangnya;
  • Kebersihan lantai;
  • Prosedur tindakan.

Definisi Kenyamanan

Kolcaba (1992, dalam Potter & Perry, 2005) mengungkapkan kenyamanan/rasa nyaman adalah suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan ketentraman (suatu kepuasan yang meningkatkan penampilan sehari-hari), kelegaan (kebutuhan telah terpenuhi), dan transenden (keadaan tentang sesuatu yang melebihi masalah atau nyeri). Kenyamanan mesti dipandang secara holistik yang mencakup empat aspek yaitu:
  1. Fisik, berhubungan dengan sensasi tubuh.
  2. Sosial, berhubungan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan sosial.
  3. Psikospiritual, berhubungan dengan kewaspadaan internal dalam diri sendiri yang meliputi harga diri, seksualitas, dan makna kehidupan).
  4. Lingkungan, berhubungan dengan latar belakang pengalaman eksternal manusia seperti cahaya, bunyi, temperatur, warna, dan unsur alamiah lainnya.

Kenyamanan adalah konsep sentral tentang kiat keperawatan (Donahue, 1989) dalam Alimul, 2006, meringkaskan “melalui rasa nyaman dan tindakan untuk mengupayakan kenyamanan...”. Perawat memberikan kekuatan, harapan, hiburan, dukungan, dorongan dan bantuan.

Berbagai teori keperawatan menyatakan kenyamanan sebagai kebutuhan dasar klien yang merupakan tujuan pemberian asuhan keperawatan. Konsep kenyamanan mempunyai subjektifitas yang sama dengan nyeri. Setiap individu memiliki karakteristik fisiologis, sosial, spiritual, psikologis, dan kebudayaan yang mempengaruhi cara mereka menginterpretasikan dan merasakan nyeri.

Kolcaba (1992) mendefinisikan kenyamanan dengan cara yang konsisten pada pengalaman subjektif klien. Meningkatkan kebutuhan rasa nyaman diartikan perawat telah memberikan kekuatan, harapan, hiburan, dukungan, dorongan, dan bantuan.

Secara umum dalam aplikasinya pemenuhan kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan rasa nyaman bebas dari rasa nyeri, dan hipo/hipertermia. Hal ini disebabkan karena kondisi nyeri dan hipo/hipertermia merupakan kondisi yang mempengaruhi perasaan tidak nyaman pasien yang ditunjukan dengan timbulnya gejala dan tanda pada pasien.

1. Pengertian Nyeri
Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang disebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat sangat subyektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya.

Pengertian nyeri menurut para ahli
  • Mc. Coffery (1979), mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang yang keberadaannya diketahui hanya jika orang tersebut pernah mengalaminya.
  • Wofl Weitzel Fuerst (1974), mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu perasaan menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang bisa menimbulkan ketegangan.
  • Arthur C Curton (1983), mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu mekanisme produksi tubuh, timbul ketika jaringan sedang di rusak dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rangsangan nyeri.
  • Scrumum, mengartikan nyeri sebagai suatu keadaan yang tidak menyenangkan akibat terjadinya rangsangan fisik maupun dari serabut saraf dalam tubuh ke otak dan diikuti oleh reaksi fisik, fisiologis dan emosional.

2. Fisiologi Nyeri
Terjadinya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor, merupakan ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki myelin, yang tersebar pad akulit dan mukosa, khususnya pada vicera, persendian, dinding arteri, hati dan kandung empedu.

Reseptor nyeri dapat memberikan respon akibat adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa zat kimiawi seperti bradikinin, histamin, prostaglandin, dan macam-macam asam yang dilepas apabila terdapat kerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigenasi. Stimulasi yang lain dapat berupa termal, listrik atau mekanis.

3. Klasifikasi Nyeri
Secara umum nyeri dibedakan menjadi 2 yakni:
  • Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat menghilang, yang tidak melebihi 6 bulan dan ditandai adanya peningkatan tegangan otot.
  • Nyeri kronis adalah nyeri yang timbul secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung dalam waktu yang cukup lama, yaitu lebih dari 6 bulan. Yang termasuk dalam nyeri kronis ini adalah nyeri terminal, sindrom nyeri kronis, dan nyeri psikosomatis.
Bila ditinjau dari sifat terjadinya, nyeri dibagi menjadi nyeri tertusuk dan nyeri
terbakar.

4. Teori Nyeri
Terdapat beberapa teori tentang terjadinya nyeri, di antaranya (Barbara C Long, 1989):
  • Teori Pemisahan (Specificity Theory)  Menurut teori ini, rangsangan sakit masuk ke medula spinalis melalui kornu dorsalis yang bersinaps di daerah posterior, kemudian naik ke tractus lissur dan menyilang di garis median ke sisi lainnya dan berakhir di korteks sensoris tempat rangsangan nyeri tersebut diteruskan.
  • Teori Pola (Pattern Theory)  Rangsangan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsal ke medula spinalis dan merangsang aktivitas sel T. Hal ini mengakibatkan suatu respons yang merangsang ke bagian yang lebih tinggi, yaitu korteks serebri, serta kontraksi menimbulkan persepsi dan otot berkontraksi sehingga menimbulkan nyeri. Persepsi dipengaruhi oleh modalitas dari reaksi sel T.
  • Teori Pengendalian Gerbang (Gate Control Theory)  Menurut teori ini nyeri bergantung dari kerja serat saraf besar dan kecil yang keduanya berada dalam akar ganglion dorsalis. Rangsangan pada serat saraf besar akan meningkatkan aktivitas substansia gelatinosa yang mengakibatkan tertutupnya pintu mekanisme sehingga aktivitas sel T terhambat dan menyebabkan hantaran rangsangan ikut terhambat. Rangsangan serat besar dapat langsung merangsang korteks serebri. Hasil persepsi ini akan dikembalikan ke dalam medulla spinalis melalui serat eferen dan reaksinya mempengaruhi aktivitas sel T. Rangsangan pada serat kecil akan menghambat aktivitas substansia gelatinosa dan membuka pintu mekanisme, sehingga merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya akan menghantarkan rangsangan nyeri.
  • Teori Transmisi dan Inhibisi  Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi impuls-impuls saraf, sehingga transmisi impuls nyeri menjadi efektif oleh neurotransmiter yang spesifik. Kemudian inhibisi impuls nyeri menjadi efektif oleh impuls-impuls pada serabut-serabut besar yang memblok impuls-impuls pada serabut lamban dan endogen opiate sistem supresif.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Pengalaman nyeri seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain:
  • Arti nyeri → Arti nyeri bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan hampir sebagian arti nyeri merupakan arti yang negatif, seperti membahayakan, merusak, dan lain-lain. Keadaan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, jenis kelamin, latar belakang sosial budaya, dan pengalaman.
  • Persepsi nyeri → Persepsi nyeri merupakan penilaian yang sangat subyektif tempatnya pada korteks (pada fungsi evaluatif kognitif). Persepsi ini dipengaruhi oleh faktor yang dapat memicu stimuli nociceptor.
  • Toleransi nyeri → Toleransi ini erat hubungannya dengan intensitas nyeri yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang menahan nyeri. Faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan toleransi nyeri antara lain: alkohol, obat-obatan, hipnotis, dan lain-lain. Sedangkan faktor yang dapat menurunkan toleransi nyeri antara lain: kelelahan, rasa marah, bosan, cemas, nyeri yang tidak kunjung hilang, sakit, dan lain-lain.
  • Reaksi terhadap nyeri → Reaksi terhadap nyeri merupakan bentuk respons seseorang terhadap nyeri, seperti ketakutan, gelisah, cemas, menangis, dan menjerit. Semua ini merupakan bentuk respon nyeri yang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti arti nyeri, tingkat persepsi nyeri, pengalaman masa lalu, nilai budaya, harapan sosial, kesehatan fisik dan mental, rasa takut, cemas, usia dan lain-lain.

6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keamanan dan Kenyamanan
  • Emosi → Kecemasan, depresi, dan marah akan mudah terjadi dan mempengaruhi keamanan dan kenyamanan.
  • Status mobilisasi → Keterbatasan aktivitas, paralisis, kelemahan otot, dan kesadaran menurun memudahkan terjadinya risiko injury.
  • Gangguan persepsi sensory → Mempengaruhi adaptasi terhadap rangsangan yang berbahaya seperti gangguan penciuman dan penglihatan.
  • Keadaan imunitas → Gangguan ini akan menimbulkan daya tahan tubuh kurang sehingga mudah terserang penyakit.
  • Tingkat kesadaran → Pada pasien koma, respons akan menurun terhadap rangsangan, paralisis, disorientasi, dan kurang tidur.
  • Informasi atau komunikasi → Gangguan komunikasi seperti aphasia atau tidak dapat membaca dapat menimbulkan kecelakaan.
  • Gangguan tingkat pengetahuan → Kesadaran akan terjadi gangguan keselamatan dan keamanan dapat diprediksi sebelumnya.
  • Penggunaan antibiotik yang tidak rasional → Antibiotik dapat menimbulkan resisten dan anafilaktik syok.
  • Status nutrisi → Keadaan kurang nutrisi dapat menimbulkan kelemahan dan mudah menimbulkan penyakit, demikian sebaliknya dapat berisiko terhadap penyakit tertentu.
  • Usia → Pembedaan perkembangan yang ditemukan diantara kelompok usia anak-anak dan lansia mempengaruhi reaksi terhadap nyeri.
  • Jenis kelamin → Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam merespon nyeri dan tingkat kenyamanannya.
  • Kebudayaan → Keyakinan dan nilai-nilai kebudayaan mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri dan tingkat kenyaman yang mereka punyai.

Jenis dasar risiko terhadap keamanan klien di dalam lingkungan pelayanan kesehatan
adalah jatuh, kecelakaan yang disebabkan oleh klien, kecelakaan yang disebabkan oleh
prosedur, dan kecelakaan yang disebabkan oleh penggunaan alat. (Potter & Perry, 2005).

1. Jatuh
Jatuh merupakan 90% jenis kecelakaan yang dilaporkan dari seluruh kecelakaan yang terjadi di rumah sakit. Risiko jatuh lebih besar dialami oleh klien lansia. Selain usia, riwayat jatuh terdahulu, masalah pada sikap berjalan dan mobilisasi, hipotensi postural, perubahan sensorik, disfungsi saluran dan kandung kemih, dan beberapa kategori diagnose tertentu seperti kanker, penyakit kardiovaskuler, neurologi, dan penggunaan obat-obatan dan interaksi obat juga dapat menyebabkan jatuh modifikasi dalam lingkungan pelayanan kesehatan dengan mudah mengurangi risiko jatuh. Oleh karena itu semua hal yang berhubungan dengan klien harus diperhatikan, seperti ; pegangan yang aman di toilet, kunci pada tempat tidur, pagar tempat tidur dan bel pemanggil beberapa bentuk keamanan yang
ditemukan dalam pelayanan kesehatan.

Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah jatuh (Potter & Perry, 2005).:
  • Orientasikan klien terhadap lingkungan fisik sekitarnya;
  • Jelaskan penggunaan sistem bel pemanggil;
  • Kaji risiko klien untuk jatuh;
  • Tempatkan klien yang berisiko jatuh dekat dengan ruangan perawat;
  • Ingatkan seluruh petugas terhadap risiko klien jatuh;
  • Instruksikan klien dan keluarga untuk mencari bantuan bila klien bangun dari tempat tidur;
  • Jawablah panggilan bel klien dengan cepat;
  • Jaga agar tempat tidur klien tetap berada pada posisi rendah dengan sisi pembatas tempat tidur yang terpasang jika diperlukan;
  • Jaga barang-barang pribadi tetap berada dalam jangkauan klien;
  • Kurangi keributan;
  • Kunci seluruh tempat tidur, kursi roda atau brankar;
  • Observasi klien secara teratur;
  • Anjurkan keluarga untuk berpartisipasi dalam perawatan klien.

2. Oksigen
Kebutuhan fisiologis yang terdiri dari kebutuhan terhadap oksigen akan mempengaruhi keamanan pasien. Namun bila tidak digunakan secara benar oksigen juga bisa menimbulkan ketidakamanan, oleh karena itu system gas medic harus diatur seperti berikut.

  • Gas medik disimpan dengan benar dan dipasang dalam area berventilasi cukup area penyimpanan dengan kompartemen.
  • Lokasi yang benar dan aman untuk penyimpanan gas medik.
  • Untuk penggunaan di rumah sakit gas medik harus dalam pipa, minimum penyimpanan selama minimum 7 (tujuh) hari.
  • Untuk rumah sakit yang menggunakan silinder individual, penyimpanan minimum untuk 3 (tiga) hari.
  • Tangki mempunyai segel (seal) utuh dan aman dari pemasok.
  • Pipa gas medik yang dipasang di dinding dilengkapi dengan penyangga pipa.
  • Angkur dilengkapi untuk tangki, silinder, dan peralatan terkait.
  • Keselamatan sistem distribusi gas medik (katup, pipa dan sambungan) terjamin.
  • Alat ukur fungsional dan fiting.
  • Menggunakan pipa standar (kedap api, kedap air)
  • Sambungan pipa tidak boleh dipertukarkan.
  • Melakukan prosedur pengujian secara regular.
  • Dengan katup penutup zona dalam kasus kebocoran (contoh di dalam kasus kebakaran pada kompleks ruang operasi, katup zona dapat menutup).
  • Tangki cadangan oksigen tersedia dalam kasus evakuasi pasien darurat.
  • Gas industri diletakkan di luar bangunan dan dilengkapi dengan pengaman penutup otomatis (contoh LPG).
  • Apabila aktivitas atau mungkin penyimpanan melibatkan bahaya ledakan, ventilasi ledakan ke luar bangunan harus dilengkapi dengan kaca tipis atau ventilasi lain yang disetujui.
  • Semua konstruksi yang secara aktif terlibat pengoperasian yang berbahaya harus mempunyai tingkat ketahanan api 1 (satu) jam dan bukaan antara setiap bangunan dan ruangan-ruangan atau ruang tertutup untuk pengoperasian yang berbahaya harus diproteksi dengan pintu kebakaran yang menutup sendiri atau otomatik.


3. Pencahayaan
Rumah sakit merupakan sarana pelayanan publik yang penting. Tata pencahayaan dalam ruang rawat inap dapat mempengaruhi kenyamanan pasien selama menjalani rawat inap, disamping itu juga berpengaruh bagi kelancaran paramedis dalam menjalankan aktivitasnya untuk melayani pasien (Adi Santosa).

Depkes RI (1992) mendefinisikan pencahayaan sebagai jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efektif. Pada rumah sakit intensitas pencahayaan antara lain sebagai berikut:
  • Untuk ruang pasien saat tidak tidur sebesar 100-200 lux Dengan warna cahaya sedang,
  • Pada saat tidur maksimum 50 lux,
  • Koridor minimal 60 lux,
  • Tangga minimal 100 lux, dan
  • Toilet minimal 100 lux.
Pencahayaan alam maupun buatan diupayakan agar tidak menimbulkan silau dan
intensitasnya sesuai dengan peruntukannya.

4. Kecelakaan yang Disebabkan oleh Prosedur
Kecelakaan yang disebabkan oleh prosedur terjadi selama terapi. Hal ini meliputi kesalahan pemberian medikasi dan cairan. Perawat dapat melaksanakan sesuai prosedur agar tidak terjadi kecelakaan, ada enam (6) benar cara pemberian obat yang harus ditaati.

Enam benar pemberian obat, yaitu:
  1. Tepat obat: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, menanyakan ada tidaknya alergi obat, menanyakan keluhan pasien sebelum dan setelah memberikan obat, mengecek label obat, mengetahui reaksi obat, mengetahui efek samping obat, hanya memberikan obat yang disiapkan diri sendiri.
  2. Tepat dosis: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mengecek hasil hitungan dosis dengan dengan perawat lain, mencampur/mengoplos obat.
  3. Tepat waktu: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mengecek tanggal kadaluarsa obat, memberikan obat dalam rentang 30 menit.
  4. Tepat pasien: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, memanggil nama pasien yang akan diberikan obat, mengecek identitas pasien pada papan/kardeks di tempat tidur pasien
  5. Tepat cara pemberian: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mengecek cara pemberian pada label/kemasan obat.
  6. Tepat dokumentasi: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mencatat nama pasien, nama obat, dosis, cara, dan waktu pemberian obat.

Potensial terjadinya infeksi akan berkurang bila teknik septik aseptic tidak ditaati. Salah satunya adalah dengan cuci tangan yang benar. Menurut Depkes (2007), mencuci tangan adalah proses yang secara mekanisme lepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan sabun biasa dan air.

Tujuan mencuci tangan menurut Depkes (2007) adalah merupakan salah satu unsur pencegahan penularan infeksi. Adapun teknik cuci tangan yang efektif sesuai prosedur cuci tangan menurut WHO
(2007) yaitu sebagai berikut.
  1. Dimulai cuci tangan dengan menggunakan air mengalir dan bersih.
  2. Menggunakan sabun cair atau sabun batangan, menggosokkan sabun tersebut sampai berbusa banyak di telapak tangan.
  3. Menggosokkan ke bagian punggung tangan dengan jari tangan menjalin secara bergantian, sebanyak 3 (tiga) kali.
  4. Membersihkan sela-sela jari secara bergantian sebanyak 3 kali.
  5. Mengepalkan salah satu tangan (dengan posisi mengunci) dan menggosokkan ke permukaan tangan lainnya dimulai dengan menggosokkan buku-buku jari tangan, kuku tangan, dan ujung-ujung jari tangan secara bergantian, sebanyak 3 (tiga) kali.
  6. Memutar-mutar ibu jari tangan dengan salah satu tangan yang dilakukan secara bergantian, sebanyak 3 (tiga) kali.
  7. Membilas tangan dengan air mengalir mulai dari permukaan tangan sampai dengan sikut tangan.
  8. Mengeringkan tangan dengan handuk bersih/tissue.

5. Kecelakaan yang Disebabkan Peralatan
Kecelakaan yang disebabkan peralatan terjadi karena alat yang digunakan tidak berfungsi, rusak atau salah digunakan. Hal-hal yang dapat terjadi antara lain kebakaran. Kebakaran dapat terjadi karena listrik atau anestetik.

Menurut Kemenkes dalam Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit yang aman dalam
situasi darurat dan bencana dalam hal sistem listrik adalah sebagai berikut.
  1. Generator darurat mempunyai kapasitas memenuhi kebutuhan prioritas rumah sakit (ketentuan untuk sistem cadangan kelistrikan, termasuk untuk ruang operasi,perawatan intensif dan lorong).
  2. Voltase distribusi yang lebih tinggi, seperti sistem 380/220V-3 phase, 4 kawat dipertimbangkan terhadap biaya awal rendah dan nilai tambah yang lebih besar untuk efisiensi jangka panjang.
  3. Rumah generator atau rumah sumber daya (Power House) di proteksi dari bencana alam dan bencana yang dibuat manusia; dibuat dari beton yang diperkuat; ketinggian lantainya lebih tinggi dari tanah.
  4. Generator dan peralatan lainnya yang bergetar harus dipasang dengan pengikat (bracket) khusus yang memungkinkan gerakan tetapi mencegahnya dari terjungkir.
  5. Mempunyai generator yang tidak berisik dan tidak bergetar; sistem buangan harus dibuat dalam bentuk silencer jenis kritis, atau kualitas rumah sakit dan unit dilengkapi dengan isolator getaran jika generator berada di dalam bangunan.
  6. Generator dilengkapi dengan sakelar pemindah otomatis.
  7. Menggunakan sistem pendingin transformer yang tidak mudah terbakar (yaitu jenis kering, resin epoxy atau minyak silikon atau minyak temperatur tinggi)
  8. Menggunakan sistem proteksi bio (BPS), kawat mempunyai sertifikat standar, lebih disukai dengan insulasi thermoplastik nilon tahan panas tinggi dan kabel dipasang erat dan dikencangkan pada pemutus arus (CB) atau sakelar atau pengaman kawat.
  9. Pemutus beban, kontraktor magnetic, pengaman lebur, atau sakelar tanpa pengaman lebur yang terpasang dalam panel control harus terproteksi.
  10. Dalam kamar mandi dan dalam area basah atau lembab, kotak kontak harus dilengkapi dengan pemutus kegagalan sirkit pembumian (GPAS = Gawai Proteksi Arus Sisa).
  11. Kotak kontak (stop kontak, outlet) dilengkapi dengan kutup pembumian.
  12. Bagian-bagian metalik dari sistem elektrikal yang bukan konduit arus, dibumikan dengan benar, termasuk penutup elektrikal, kotak, selokan, duct dan tray.
  13. Panel kontrol diproteksi, sakelar pemutus arus dan kabel mengikuti standar SNI 0225-2000, Persyaratan Umum Instalasi Listrik dan diproteksi dengan electrical surge suppressor.
  14. Semua sistem elektrikal dan ruangan-ruangan diproteksi dengan unit pemadam api kimia ringan.
  15. Sistem ducting-polyvinyl chloride (PVC) untuk daya dan pencahayaan; konduit baja kaku atau konduit metal menengah untuk sistem deteksi dan alarm; PVC untuk telepon, intekom, CCTV, kabel TV, jaringan data komputer.
  16. Menggunakan pencahayaan fluorecent kompak hemat energi dan tabung merkuri tanpa merkuri.
  17. Pencahayaan yang cukup dalam seluruh area rumah sakit, termasuk halaman.
  18. Sistem listrik eksterior dipasang di bawah tanah.
  19. Listrik fungsional dan lampu darurat dengan batere cadangan dalam seluruh area ktiris.
  20. Luminus (armatur) lampu eksit dengan baterai cadangan. Intervensi yang dapat dilakukan adalah dengan melengkapi system alarm. 

Menurut Kemenkes dalam Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit yang aman dalam situasi darurat dan bencana dalam hal sistem pemadam kebakaran adalah:
  1. Sistem Pemadam Kebakaran
    • Sistem alarm, deteksi dan pemadaman harus dihubungkan dengan sistem alarm kebakaran otomatis, sistem deteksi panas dan/atau sistem pemadam kebakaran otomatik.
    • Sistem alarm kebakaran dapat dioperasikan secara manual dan otomatis.
    • Sistem alarm kebakaran di monitor oleh pos pemadam kebakaran atau agen monitor yang terakreditasi.
    • Deteksi panas dan asap dipasang di koridor rumah sakit, panti jompo, dan fasilitas penyandang cacat.
    • Detektor asap harus tidak dipasang terlalu jauh dari 9 (sembilan) meter dari titik pusatnya dan lebih dari 4 (empat) dan 6 (enam) sampai 10 meter dari setiap dinding.
    • Menggunakan zat pemadaman yang ramah lingkungan, effektif dan kerusakan yang diakibatkannya kecil.
    • Setiap ruangan dilengkapi dengan alat pemadam api ringan.
    • Direkomendasikan alat pemadam api ringan; untuk peralatan elektrikal dan elektronik menggunakan carbon dioksida, untuk layanan umum menggunakan alat pemadam api ringan jenis ABC.
    • Dengan pipa tegak basah lengkap dengan perlengkapannya.
    • Mempunyai program keselamatan terhadap kebakaran dengan mengutamakan sebagai berikut:
      1. Di organisasi oleh dinas kebakaran yang melakukan seminar, pelatihan pemadaman api, pelatihan evakuasi dalam situasi kebakaran, pelatihan pada saat terjadinya gempa bumi
      2. Melakukan pelatihan pemadaman api dan evakuasi pada situasi kebakaran
      3. Melakukan penanggulangan kebakaran, latihan pencegahan dan pemadaman kebakaran.
      4. Tersedia peralatan pemadam kebakaran.
      5. Pemeliharaan pencegahan dari peralatan pemadam kebakaran.
      6. Tersedia gambar eksit kebakaran dan gambar ketentuan evakuasi melalui eksit kebakaran di tempat yang mencolok pada setiap tingkat lantai.
  2. Sistem Eksit Darurat
    • Lantai balok dari jalan keluar diterangi pada semua titik termasuk sudut dan persimpangan dari koridor dan lorong, bordes tangga dan pintu eksit (exit) dengan lampu yang mempunyai lumen minimal 0,001 lumen per cm2.
    • Sumber pencahayaan mudah diakses dan andal, seperti layanan listrik PLN.
    • Fasilitas pencahayaan darurat dijaga dengan tingkat iluminasi tertentu pada kejadian kegagalan pencahayaan normal untuk jangka waktu sekurangkurangnya 1 jam.
    • Tanda arah “EXIT”/KELUAR diterangi, dengan warna khusus, dengan sumber yang andal, 0,005 lumen per cm2.
    • Tinggi huruf dari tanda arah 15 cm dengan huruf yang menonjol dengan lebar tidak kurang dari 19 mm.
    • Lengkapi luminous (armature) penunjuk arah eksit pada dinding dan diletakkan 30 cm atau lebih lebih rendah dari permukaan lantai.
Jika terjadi kebakaran, maka perawat harus melindungi klien dari cedera, melaporkan lokasi kebakaran, dan membatasi lokasi penyebaran api. Salah satu tingkatan yang sangat membantu untuk membuat prioritas saat terjadi kebakaran adalah RACE: Rescue, Alarm, Confine, dan Extinguish. Penyelamatan dan pemindahan seluruh klien dari berbahaya yang mengancam.

Dengan menggunakan prosedur peringatan berbahaya untuk melaporkan lokasi kebakaran, maka petugas harus mengambil tindakan untuk membatasi penyebaran atau memadamkan kebakaran (misalnya menutup pintu dan jendela, mematikan oksigen dan alat-alat listrik dan menggunakan alat pemadam kebakaran).

Klien yang terjebak dalam kebakaran, berapa pun besarnya kebakaran tersebut, berada dalam risiko dan harus dipindahkan ke area lain.
  1. Jika klien menggunakan oksigen tetapi tidak menjadi pendukung kehidupannya, makaperawat dapat melepaskan oksigen tersebut.
  2. Jika klien menggunakan oksigen sebagai pendukung kehidupannya maka perawat harus mempertahankan status pernapasan klien secara manual dengan menggunakan ambubag sampai klien terlepas dari ancaman kebakaran.
  3. Klien yang bisa berjalan dapat diarahkan untuk berjalan sendiri ke arah yang aman dan pada beberapa kasus mungkin dapat dibantu dengan kursi roda.
  4. Klien yang berbaring di tempat tidur umumnya dipindahkan dengan menggunakan brankar, tempat tidur atau kursi roda.
Jika tidak ada satu pun metode yang dapat digunakan, maka klien harus diangkat dari
ares tersebut.

Daftar Pustaka
  • Alman. 2000. Fundamental & Advanced Nursing Skill. Canada: Delmar Thompson, Learning Publisher.
  • Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan, Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.
  • A. Azis Alimun. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia I. Jakarta: Salemba Medika.
  • A. Azis Alimun H. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia, Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan, Buku 1, Buku 2. Jakarta: Salemba Medika.
  • Elkin, et al. 2000. Nursing Intervention and Clinical Skills. Aecond edt.
  • Kozier, B. 1995. Fundamental of Nursing: Concept Process and Practice, Ethics and Values. California: Addison Wesley.
  • Potter, P. 1998. Fundamental of Nursing. Philadelphia: Lippincott.
  • Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
  • S. Suarli dan Yanyan Bahtiar. 2010. Manajemen Keperawatan. Jakarta: Erlangga Medical Series.
  • Tarwoto Wartonah. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.
  • Tim Poltekkes Depkes Jakarta III. 2009 Panduan Praktek KDM. Jakarta: Salemba Medika.
  • Tim Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang. 2012. Modul Pembelajaran KDM. Malang.