Widget HTML #1

Konsep Dasar Farmakologi, Farmakodinamik, dan Farmakokinetik

Konsep Dasar Farmakologi, Farmakodinamik, dan Farmakokinetik

A. Fase Farmasetik

Marilah kita awali pembelajaran kita dengan terlebih dahulu menyamakan pengertian tentang obat. Apa yang dimaksud dengan obat dalam? Obat merupakan semua zat, baik kimiawi, hewani maupun nabati yang dalam dosis layak dapat menyembuhkan, meringankan atau mencegah penyakit berikut gejalanya.

Suatu obat yang diminum peroral akan melalui tiga fase, yaitu farmasetik, farmakokinetik dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi.

Dalam fase farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus membran biologi. Jika obat diberikan melalui rute subkutan, intramuskuler atau intravena maka tidak terjadi fase farmasetik.

Fase kedua yaitu farmakokinetik yang meliputi 4 fase, yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme atau biotransformasi dan ekskresi. Dalam fase farmakodinamik, atau fase ketiga, terjadi respons biologis atau fisiologis.

Sekitar 80% obat diberikan secara oral, oleh karena itu farmasetika adalah fase pertama dari kerja obat. Dalam saluran gastrointestinal, obat-obat perlu dilarutkan agar dapat diabsorbsi.

Obat dalam bentuk padat (tablet atau pil) harus didisintegrasi menjadi partikel-partikel kecil supaya dapatlarut kedalam cairan, dan proses ini dikenal dengan disolusi.

Dua fase farmasetik, yaitu:
  1. Disintegrasi: Adalah pemecahan tablet atau pil menjadi partikel-partikel yang lebih kecil
  2. Disolusi: Adalah melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil itu dalam cairan gastrointestinal untuk diabsorpsi.
Rate limiting adalah waktu yang dibutuhkan oleh sebuah obat untuk berdisintegrasi dan sampai menjadi siap untuk diabsorpsi oleh tubuh. Obat-obat dalam bentuk cair lebih cepat siap diserap oleh saluran gastrointestinal daripada obat dalam bentuk padat.

Obat dengan enteric coated (EC) tidak dapat didisintegrasi oleh asam lambung, tetapi dalam suasana basa, sehingga disintegrasi akan terjadi di usus halus. Makanan dalam saluran gastro intestinal dapat mengganggu pengenceran dan absorbsi obat tertentu. Beberapa obat mengiritasi mukosa lambung, sehingga cairan atau makanan diperlukan untuk mengencerkan konsentrasi obat.

Contoh: Anak-anak tak mampu menelan tablet dan kapsul sehingga dibuat sediaan sirup (acceptability). Antibiotika mudah terurai dalam lingkungan berair sehingga dibuat sediaan sirup kering (stability) Bahan aktif mengalami peruraian di lambung sehingga dibuat sediaan buccal, parenteral atau suppositoria (efficacy). Bahan aktif bisa mengiritasi lambung sehingga dibuat sediaan enteric coated tablet (safety)

B. Farmakokinetik

Farmakokinetik adalah proses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat. Empat proses yang termasuk di dalamnya adalah: absorpsi,distribusi, metabolisme (atau biotransformasi) dan ekskresi (atau eliminasi).

1. Absorbsi

Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari saluran gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif, absorpsi aktif atau pinositosis.
  • Absorbsi pasif umumnya terjadi melalui difusi.
  • Absorbsi aktif membutuhkan karier (pembawa) untuk bergerak melawan perbedaan konsentrasi.
  • Pinositosis berarti membawa obat menembus membran dengan proses menelan.
Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus halus melalui kerja permukaan vili mukosa yang luas. Jika sebagian dari vili ini berkurang, karena pengangkatan sebagian dari usus halus, maka absorpsi juga berkurang. Obat-obat yang mempunyai dasar protein, seperti insulin dan hormon pertumbuhan, dirusak di dalam usus halus oleh enzim-enzim pencernaan.

Absorpsi obat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu aliran darah,rasa nyeri, stres, kelaparan, makanan dan pH. Sirkulasi yang buruk akibat syok,obat-obat vasokonstriktor, penyakit yang merintangi absorpsi. Rasa nyeri, stres, dan makanan yang padat, pedas, dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan lambung, sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung. Latihan dapat mengurangi aliran darah dengan mengalihkan darah lebih banyak mengalir ke otot, sehingga menurunkan sirkulasi ke saluran gastrointestinal.

2. Distribusi

Distribusi adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan tubuh dan jaringan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah, afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, dan efek pengikatan dengan protein.

Ketika obat didistribusi di dalam plasma, kebanyakan berikatan dengan protein (terutama albumin) dalam derajat (persentase) yang berbeda-beda. Salah satu contoh obat yang berikatan tinggi dengan protein adalah diazepam (Valium): yaitu 98% berikatan dengan protein. Aspirin 49% berikatan dengan protein dan termasuk obat yang berikatan sedang dengan protein.

Bagian obat yang berikatan bersifat inaktif, dan bagian obat selebihnya yang tidak berikatan dapat bekerja bebas. Hanya obat-obat yang bebas atau yang tidak berikatan dengan protein yang bersifat aktif dan dapat menimbulkan respons farmakologik.

Perawat harus memeriksa kadar protein plasma dan albumin plasma, karena penurunan protein atau albumin menurunkan pengikatan sehingga memungkinkan lebih banyak obat bebas dalam sirkulasi. Tergantung dari obat yang diberikan.

3. Metabolisme atau Biotransformasi

Hati merupakan tempat utama untuk metabolisme. Kebanyakan obat diinaktifkan oleh enzim-enzim hati dan kemudian diubah atau ditransformasikan oleh enzim-enzim hati menjadi metabolit inaktif atau zat yang larut dalam air untuk diekskresikan. Tetapi, beberapa obat ditransformasikan menjadi metabolit aktif, menyebabkan peningkatan respons farmakologik. Penyakit-penyakit hati, seperti sirosis , hepatitis, mempengaruhi metabolisme obat.

Waktu paruh, dilambangkan dengan t1/2 dari suatu obat adalah waktu yang dibutuhkan oleh separuh konsentrasi obat untuk dieliminasi. Metabolisme dan eliminasi mempengaruhi waktu paruh obat, contohnya pada kelainan fungsi hati atau ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih panjang dan lebih sedikit obat dimetabolisasi dan dieliminasi.

Jika suatu obat diberikan terus menerus, maka dapat terjadi penumpukan obat. Suatu obat akan melalui beberapa kali waktu paruh sebelum lebih dari 90% obat itu dieliminasi. Jika seorang klien mendapat 650 mg aspirin (miligram) dan waktu paruhnya adalah 3 jam, maka dibutuhkan 3 jam untuk waktu paruh pertama untuk mengeliminasi 325 mg, dan waktu paruh kedua (atau 6 jam) untuk mengeliminasi 162 mg berikutnya, dan seterusnya, sampai pada waktu paruh keenam (atau 18 jam) di mana tinggal 10 mg aspirin terdapat dalam tubuh.

Waktu paruh selama 4-8 jam dianggap singkat, dan 24 jam atau lebih dianggap panjang.Jika suatu obat memiliki waktu paruh yang panjang (seperti digoksin, 36 jam), maka diperlukan beberapa hari agar tubuh dapat mengeliminasi obat tersebut seluruhnya.

4. Ekskresi atau Eliminasi

Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi empedu, feses, paru-paru, saliva, keringat, dan air susu ibu. Obat bebas, yang tidak berikatan, yang larut dalam air, dan obat-obat yang tidak diubah, difiltrasi oleh ginjal. Obat-obat yang berikatan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal.

Sekali obat dilepaskan ikatannya dengan protein, maka obat menjadi bebas dan akhirnya akan diekskresikan melalui urin. pH urin mempengaruhi ekskresi obat. pH urin bervariasi dari 4,5 sampai 8. Urin yang asam meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah.

Aspirin, suatu asam lemah, diekskresi dengan cepat dalam urin yang basa. Jika seseorang meminum aspirin dalam dosis berlebih, natrium bikarbonat dapat diberikan untuk mengubah pH urin menjadi basa. Juice cranberry dalam jumlah yang banyak dapat menurunkan pH urin, sehingga terbentuk urin yang asam.

C. Farmakodinamik

Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia selular dan mekanisme kerja obat. Respons obat dapat menyebabkan efek fisiologis primer atau sekunder atau kedua-duanya.

Efek primer adalah efek yang diinginkan dan efek sekunder bisa diinginkan atau tidak diinginkan.

Salah satu contoh dari obat dengan efek primer dan sekunder adalah difenhidramin (Benadryl), suatu antihistamin. Efek primer dari difenhidramin adalah untuk mengatasi gejala-gejala alergi, dan efek sekundernya adalah penekanan susunan saraf pusat yang menyebabkan rasa kantuk.

Efek sekunder ini tidak diinginkan jika pemakai obat sedang mengendarai mobil atau beraktivitas lain, tetapi pada saat tidur, efek ini menjadi diinginkan karena menimbulkan sedasi ringan.

1. Mula, Puncak dan Lama Kerja Obat

Mula kerja dimulai pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir sampai mencapai konsentrasi efektif minimum (MEC= minimum effective concentration). Puncak kerja terjadi pada saat obat mencapai konsentrasi tertinggi dalam darah atau plasma.

Lama kerja adalah lamanya obat mempunyai efek farmakologis. Beberapa obat menghasilkan efek dalam beberapa menit, tetapi yang lain dapat memakan waktu beberapa hari atau jam. Ada 4 kategori kerja obat, yaitu perangsangan atau penekanan, penggantian, pencegahan atau membunuh organisme dan iritasi.

Kerja obat yang merangsang akan meningkatkan kecepatan aktivitas sel atau meningkatkan sekresi dari kelenjar. Obat-obat yang menekan akan menurunkan aktivitas sel dan mengurangi fungsi organ tertentu.

Obat-obat pengganti, seperti insulin, menggantikan senyawa-senyawa tubuh yang esensial. Obat-obat yang mencegah atau membunuh organisme menghambat pertumbuhan sel bakteria. Penisilin mengadakan efek bakterisidalnya dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Obat-obat juga dapat bekerja melalui mekanisme iritasi. Laksatif dapat mengiritasi dinding kolon bagian dalam, sehingga meningkatkan peristaltik dan defekasi.

Kerja obat dapat berlangsung beberapa jam, hari, minggu, atau bulan. Lama kerja tergantung dari waktu paruh obat, jadi waktu paruh merupakan pedoman yang penting untuk menentukan interval dosis obat.

Obat-obat dengan waktu paruh pendek, sepertipenisilin G (t ½-nya 2 jam), diberikan beberapa kali sehari; obat-obat dengan waktu paruh panjang, seperti digoksin (36 jam), diberikan sekali sehari.

Jika sebuah obat dengan waktu paruh panjang diberikan dua kali atau lebih dalam sehari, maka terjadi penimbunan obat di dalam tubuh dan mungkin dapat menimbulkan toksisitas obat. Jika terjadi gangguan hati atau ginjal, maka waktu paruh obat akan meningkat. Dalam hal ini, dosis obat yang tinggi atau seringnya pemberian obat dapat menimbulkan toksisitas obat.

2. Efek Terapetik, Efek Samping, Reaksi yang Merugikan dan Efek Toksik

Efek terapeutik dari suatu obat disebut juga efek yang diinginkan, adalah efek yang utama yang dimaksudkan yakni alasan obat diresepkan. Efek terapeutik obat didefinisikan juga sebagai sebuah konsekuensi dari suatu penanganan medis, dimana hasilnya dapat dikatakan bermanfaat atau malah tidak diharapkan. Hasil yang tidak diharapkan ini disebut efek samping.
  • Paliative: Mengurangi gejala penyakit tetapi tidak berpengaruh terhadap penyakit itu sendiri. Contoh: Morphin sulfat atau Aspirin untuk rasa nyeri.
  • Curative: Menyembuhkan kondisi atau suatu penyakit. Contoh: Penicilline untuk infeksi.
  • Supportive: Mendukung fungsi tubuh sampai penatalaksaan lain atau respon tubuh ditangani. Contoh: Norepinephrine bitartrate untuk tekanan darah rendah & aspirin untuk suhu tubuh tinggi.
  • Substitutive: Menggantikan cairan atau substansi yang ada dalam tubuh. Contoh: Thyroxine untuk hypothryroidism, insulin untuk diabetes mellitus.
  • Chemoterapeutik: Merusak sel-sel maligna. Contoh: Busulfan untuk leukemia.
  • Restorative: Mengembalikan kesehatan tubuh. Contoh: vitamin & suplement mineral.
Efek samping adalah efek fisiologis yang tidak berkaitan dengan efek obat yang diinginkan. Semua obat mempunyai efek samping, baik yang diingini maupun tidak.

Istilah efek samping dan reaksi yang merugikan kadang dipakai bergantian. Efek samping atau efek sekunder dari suatu obat adalah hal yang tidak diinginkan. Efek samping biasanya dapat diprediksikan dan mungkin berbahaya atau kemungkinan berbahaya.

Contoh: Difenhidramin memiliki efek terapeutik berupa pengurangan sekresi selaput lendir hidung sehingga melegakan hidung, sedangkan efek sampingnya adalah mengantuk. Namun ketika difenhidramin digunakan untuk mengatasi masalah sukar tidur, maka efek terapeutik difenhidramin adalah mengantuk dan efek sampingnya adalah kekeringan pada selaput lendir.

Efek samping terjadi karena interaksi yang rumit antara obat dengan sistem biologis tubuh, antar individu bervariasi.

Efek samping obat bisa terjadi antara lain:
  • Penggunaan lebih dari satu obat sehingga interaksi antara obat menjadi tumpang tindih pengaruh obat terhadap organ yang sama
  • Obat-obat tersebut punya efek saling berlawanan terhadap organ tertentu
Reaksi merugikan merupakan batas efek yang tidak diinginkan dari obat yang mengakibatkan efek samping yang ringan sampai berat. Reaksi merugikan selalu tidak diinginkan.

Efek toksik atau toksitas suatu obat dapat diidentifikasi melalui pemantauan batas terapetik obat tersebut dalam plasma. Jika kadar obat melebihi batas terapetik, maka efek toksik kemungkinan besar akan terjadi akibat dosis yang berlebih atau penumpukan obat.

Contoh: Dalam suatu unit gawat darurat datang seorang penderita status asmatikus berat, di mana sebagai tindak lanjut diagnosis dan evaluasi klinik diputuskan untuk memberikan terapi teofilin per infus. Dengan melihat beratnya serangan asma yang diderita, dokter menginginkan kadar teofilin segera mencapai kadar terapetik. Untuk itu, kecepatan pemberian tetesan infuse juga harus diperhitungkan agar kadar obat dalam darah sesuai yang diharapkan. Karena jika infus diberikan dengan kecepatan yang sudah diperhitungkan tadi, kadar terapetik obat dalam segera tercapai.

Pada contoh di atas, kadar terapeutik bisa dicapai dengan memperhitungkan kecepatan infus.

D. Proses Keperawatan

1. Pengkajian
  • Ingat bahwa obat-obat dalam bentuk cair (sirup) diabsorbsi lebih cepat daripada bentuk padat.
  • Kaji tanda-tanda toksisitas obat jika memberikan dua obat yang berikatan tinggi dengan protein.
  • Kaji efek samping obat yang non spesifik dan non selektif
2. Intervensi Keperawatan
  • Anjurkan klien tidak makan makanan berlemak sebelum minum obat tablet enteric coated karena akan menurunkan kecepatan absorbsi
  • Periksa literature obat untuk presentase pengikatan dengan protein.
  • Laporkan kepada perawat atau dokter jaga bila obat dengan waktu paruh yang panjang (lebih dari 24 jam) diberikan lebih dari satu kali dalam sehari.
  • Pantau batas terapetik obat-obat yang bersifat lebih toksik atau yang mempunyai batas terapetik sempit seperti digoksin.