Widget HTML #1

Pengalaman Kehilangan, Kematian, Berduka, dan Penyakit Terminal

Konsep berduka

BLOGPERAWAT.NET - Keadaan Terminal adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak ada harapan lagi bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu penyakit atau suatu kecelakaan. Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu (Kubler-Ross, 1969).

Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu (Carpenito, 2007).

Jenis penyakit terminal diantaranya adalah penyakit-penyakit kanker, Chronic Kidney Disease (CKD), Stroke Multiple Sklerosis, trauma akibat kecelakaan fatal, HIV/AIDS dan lain sebagainya.

Seseorang yang didiagnosis menderita penyakit terminal biasanya akan menghadapi perasaan kehilangan, ketakutan akan kematian serta perasaan berduka, begitu juga dengan keluarganya. Baiklah kita akan pelajari tentang konsep pengalaman kehilangan, kematian, berduka.

Kehilangan

a. Pengertian Kehilangan

Pengertian dari kematian sebenarnya masih belum jelas, sebagai respons emosional atau respons tingkah laku terhadap kehilangan, dan dampak pada cinta seseorang (Sundeen, Stuart, & Laraia, 2007). 

Bekerja dan merawat klien dalam proses kematian dan keluarganya adalah merupakan tugas yang kompleks. Simpati, kesabaran dan keterlibatan di dalamnya adalah merupakan komponen penting bagi perawatan. Perawat yang merawat klien dalam proses kematian bisa tertawa dan menangis bersamanya, benci dan cinta mereka.

Walaupun kematian adalah tiba-tiba atau dapat diantisipasi, hampir selalu perawat berperan dan selalu
bersedia dalam perawatan akhir klien dan memberikan dukungan terhadap kehilangannya.

Secara umum ada 3 istilah bila kita mendiskusikan tentang kehilangan, yaitu berduka, mourning dan kematian. Kita semua sudah mengalami perubahan dan transisi dalam hidup kita. Perubahan melibatkan rasa kehilangan terhadap sesuatu yang dimanifestasikan dalam bentuk perubahan fisik, psikologis, perilaku atau tekanan sosial. Sebagai contoh: merasa kesepian setelah meninggalnya orang yang dicintai, depresi akibat tidak diterimanya di perguruan tinggi yang diimpikan, adalah merupakan bagian dari berduka akibat dari kehilangan.

Respons kehilangan tidak sama pada setiap orang, hal ini dikarenakan respons tersebut sangat individual. Banyak faktor yang memengaruhi respons seseorang terhadap kehilangan, yaitu: usia, jenis kelamin, kepribadian, budaya. Berbagai macam suku ada di Indonesia. Masing-masing suku yang ada di Indonesia mempunyai budaya yang berbeda-beda pula dan tentunya berbeda respons terhadap kehilangan. Ada budaya yang ekspresif terhadap kehilangan/kematian, ada pula yang tenang, tidak terlalu menampakkan perasaannya terhadap kehilangan.

b. Jenis Kehilangan

1. Kehilangan yang aktual

Ini merupakan perubahan yang terjadi pada diri seseorang yang tidak diharapkan atau tidak diinginkan yang dapat mengurangi kemungkinan pencapaian tujuan individu. Misalnya: seseorang kehilangan kaki, penglihatan atau kemampuan berbicara.

2. Persepsi kehilangan

Persepsi kehilangan mungkin agak sulit diidentifikasi sebab agak sulit dipahami oleh yang lain. Contohnya: kehilangan nasib, modesty, peran, rasa percaya diri, prestasi, atau harga diri dan konsep diri.

Kita ambil contoh yang lain lagi, yaitu sepasang suami istri yang menunggu kelahiran putra pertama dan ternyata anaknya lahir tidak seperti harapannya dan impiannya karena anak cacat. Seseorang merasa rendah diri karena buta atau merasa tidak berguna karena kehilangan tangan.

3. Kehilangan Maturasional

Kehilangan terjadi sebagai hal yang normal dalam kehidupan. Contohnya: pada saat anak mulai masuk sekolah atau diterima di universitas yang jauh dari rumah, maka anak dan orangtua merasa kehilangan. Masih banyak contoh kehilangan ini di lingkungan kita. Silakan Anda memberikan contoh-contoh yang lain!

4. Kehilangan Situasional

Kehilangan situasional terjadi dalam respons tiba-tiba, tidak diprediksi dan kejadian khusus yang memiliki kapasitas mengancam yang meliputi fisiologis, psikologis dan keseimbangan sosial. Banyak kejadian yang termasuk kehilangan situasional, misalnya: perceraian, berpisah dengan keluarga, kelahiran anak, ancaman kehidupan, atau penyakit kronis dan kematian. Kehilangan situasional bisa juga disebabkan multiple kehilangan yang disebabkan oleh bencana alam (banjir, kebakaran), kecurian kecopetan, dsb.

5. Kehilangan objek eksternal

Tipe kehilangan ini merujuk pada possession seseorang yang di rusak oleh bencana alam, hilang, rusak, berpindah tempat atau dicuri, misalnya: keluarga yang kehilangan rumah karena terbakar, seorang anak menangis karena kucing kesayangannya hilang. Semakin besar nilai hubungan dengan benda, semakin besar rasa kehilangan.

6. Kehilangan lingkungan yang dikenal

Ini adalah bentuk kehilangan yang terjadi ketika berpisah dari lingkungan yang dikenal. Pindah ke budaya yang berbeda, perubahan karir atau tempat kerja merupakan sedikit contoh bentuk kehilangan ini. Kehilangan ini bisa situasional atau katurasional. Contoh yang lain adalah seorang lansia yang masuk ke panti lansia, dimana ini merupakan lingkungan baru bagi mereka.

7. Kehilangan orang yang masih ada hubungan

Dalam kategori ini, kehilangan dikatakan terjadi disebabkan oleh orang mempunyai hubungan, misalnya: pasangan, orang tua, saudara kandung, teman, rekan kerja, tetangga, sudah pindah, hilang, berpisah, bercerai, atau meninggal.

8. Kehilangan aspek diri

Kehilangan ini adalah kehilangan atau perubahan yang terjadi akibat perubahan pada diri yang berkaitan dengan body image. Konsep diri adalah independen, dan merupakan reflektif dari latar belakang pribadi dan masih banyak lagi faktor lain, misalnya: kepribadian, filosofi individu, pengalaman hidup, budaya, usia, nilai-nilai dan sistem keyakinan.

Kehilangan aspek diri adalah kehilangan yang meliputi fungsi fisiologis atau psikologis. Beberapa contoh dari kehilangan ini adalah: penurunan kemampuan mobilitas, kehilangan kontrol bladder, atau kehilangan sensori raba. Amputasi kaki, rambut menipis atau botak, berkurangnya gigi atau kehilangan payudara juga dapat memengaruhi image diri, konsep diri dan harga diri.

Berduka

a. Pengertian Berduka

Berduka adalah bagian dari kehidupan manusia, bersifat umum dan suatu jalan hidup. Berduka adalah respons total dari pengalaman emosional dari kehilangan dan dimanifestasikan dalam pikiran, perasaan dan tingkah laku (Kozier and Erb, 2007).

Respons-respons yang ditunjukkan adalah kompleks, bermacam-macam, mempertimbangkan harga yang harus dibayar untuk cinta. Reaksi terjadi disebabkan kematian seseorang yang dicintai, atau kehilangan benda yang sangat bernilai. Deeken dalam Satino (2005) menggambarkan berduka sebagai respons emosional dan perilaku terhadap kehilangan dan berfokus pada bagian dari kematian. Respons berduka sangat bervariasi pada setiap orang, kadang-kadang disembunyikan atau ditampakkan, tergantung dari tingkat dukungan yang mereka dapatkan.

Baik dalam Satino (2005) mengatakan bahwa respons fisik, perilaku, kognitif, emosional dan domain spiritual dapat dimanifestasikan selama pengalaman berduka.

Bereavement adalah proses aktual seseorang mengikuti kehilangan yang terjadi. Hal ini, seperti berpikir dan perasaan yang mengikuti pengalaman dirampas atau kehilangan sesuatu yang bernilai. Bereavement ini lebih luas dari perasaan berduka dan merupakan respons yang subjektif terhadap kehilangan seseorang yang dicintai atau seseorang yang ada hubungan dengan klien.

Berikut ini dijelaskan tentang faktor fisik yang terjadi dan manifestasi yang dirasakan dan tampak secara fisik.

Faktor yang terpengaruh saat bereavement dan manifestasi klinik

 FaktorManifestasi Klinik 
 Fisik
Menggigil, diare, lelah, pegal seluruh tubuh, tremor, mual, keringat, sakit perut, sakit kepala, mulut kering, denyut nadi cepat, badan terasa gatal, tegang pada leher dan tenggorokan.
 PerilakuMenarik diri dari yang lain, memimpikan kematian, kehilangan interes terhadap kegiatan normal, menangis dan sulit tidur, menginginkan mengisolasi diri.
 KognitifBingung, bayangan tentang mati, mimpi buruk, menurunnya perhatian, tidak percaya, kesulitan berhitung, merasa tidak ada dan halusinasi, pesimis, menurunnya interes, motivasi, inisiatif atau tujuan.
 EmosionalMarah, merasa bersalah, depresi, cemas, kehilangan rasa percaya diri, sedih, takut, merasa kehilangan kekuatan, penyesalan, kesepian, frustrasi, panic, hipersensitif.
 SpiritualMencari arti, ragu akan hal yang penting, menyalahkan Tuhan atau pengalaman krisis kepercayaan.

b. Faktor yang Memengaruhi Berduka

Ada beberapa faktor yang memengaruhi respons seseorang dalam berduka, yaitu:

1. Model Survivor Dunia

Perkembangan psikologis dan emosional merupakan dasar dari perkembangan kehidupan mulai dari masa anak-anak (Clark, 1995 dalam oleh Satino, 2005). Bayi tidak bisa bertahan hidup tanpa bantuan orang lain dan keluarganya, tidak tau apa-apa, rawan penyakit. Semakin besar anak, maka ia akan belajar untuk bisa eksis dan diterima oleh lingkungannya. Hal ini disebut sosialisasi.

Untuk bertahan tetap hidup, seseorang perlu membuat hubungan yang baik antara dirinya dengan masyarakat sekitarnya. Sosialisasi penting terjadi selama masa bayi dan anak. Pada phase ini, nilai, keyakinan, sikap, bahasa, keterampilan dan pola berpikir dan tindakan penting untuk kehidupan sosial.

Pengalaman individu juga merupakan komponen penting dalam perkembangan manusia. Itu penting untuk mempertajam sikap individu, perilaku dan hal utama yang relevan dengan pengalaman seseorang tentang kematian, sekarat, berduka, bereavement.

2. Kepribadian

Perilaku adalah hasil dari kombinasi pengaruh dari mental, emosional dan kebutuhan fisik, dan beberapa di antaranya merupakan hasil belajar.

Mudah saja, perilaku merupakan cara seseorang memimpin dirinya. Misalnya, kita tahu bahwa beberapa orang umumnya malu pada beberapa situasi dan lingkungan di mana orang lain menginginkannya. Pada kemungkinan yang seimbang, menjadi agresif, hangat dan menghindar pergi. Individu mempunyai cara belajar sendiri untuk melihat perilaku orang-orang yang dikenalnya, misalnya, anggota keluarga dan teman dekat.

Clark dalam Satino (2005) mendefinisikan kepribadian sebagai suatu kompilasi yang dinamis dari predisposisi instink emosional dan faktor psikososial, ketika dikombinasi, dideteksi nilai unik kita terhadap lingkungan. Kita kenal bahwa banyak aspek dari sikap kepribadian, seperti harga diri, emosi, sikap, nilai-nilai, gairah/semangat, kebutuhan, kekuatan-kekuatan, konflik yang disadari dan tidak disadari, dan hubungan timbal balik dengan lingkungan.

3. Peran Sosial

Semua individu mempunyai peran sosial yang dipenuhinya. Di dalam keluarga, semua orang mempunyai peran interdependen (saling terkait), dan menjadi anggota yang tergantung pada lainnya untuk support, membimbing dan sosial interaksi. Adaptasi terhadap kehilangan akan semakin sulit sebagai peran baru tuntutan tambahan dan tanggung jawab baru diterima.

Peran sosial ini bisa diberikan contoh, seperti seorang ibu mempunyai anak 3 orang yang masih balita dan ia ditinggal mati suaminya setahun yang lalu. Dengan demikian ia mempunyai peran baru yang merupakan tanggung jawabnya sebagai ibu sekaligus sebagai ayah bagi anak-anaknya. Hal ini tidak mudah dan membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan situasi dan lingkungannya.

4. Persepsi tentang Pentingnya Kematian

Persepsi seseorang tentang kematian adalah tidak sama, misalnya: ada yang menganggap bahwa kematian suami adalah sama dengan kehilangan pasangan seksual, kepala rumah tangga, pendengar, dll. Tergantung dari peran utama dia biasanya semasa hidup. Tambahan lagi, umumnya semakin dekat hubungan seseorang, semakin kuat respons berduka seseorang. Hal ini dikarenakan frekuensi dan kualitas hubungan yang semakin dekat.

5. Budaya

Budaya berpengaruh pada reaksi seseorang terhadap kehilangan. Bagaimana kehilangan/berduka tiap suku diekspresikan berbeda, misalnya: budaya Tapanuli lebih mudah mengekspresikan perasaannya dibandingkan suku jawa yang lebih banyak tersembunyi dan diam.

Suku Tapanuli lebih dikenal dengan keterbukaannya, termasuk perasaannya. Jumlah anggota keluarga juga dapat memengaruhi kehilangan/berduka, karena support/ dukungan dari keluarga yang besar berbeda dengan anggota keluarga yang lebih sedikit.

6. Peran Jenis Kelamin

Reaksi terhadap kehilangan pada jenis kelamin berbeda, Pria umumnya diharapkan “lebih kuat” dan memperlihatkan hanya sedikit emosi selama berduka, sementara itu dapat diterima jika wanita menunjukkan berduka dengan menangis. Peran dalam jenis kelamin juga berdampak pada perubahan body image klien. Pria lebih mempertimbangkan luka di wajah sebagai tanda ”macho” atau jantan, tetapi pada wanita mungkin menganggap itu memperburuk penampilan.

7. Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi sering kali berpengaruh pada support system seseorang terhadap kehilangan. Seorang pensiunan atau orang yang mempunyai asuransi contohnya, dapat menerima kehilangan dengan tenang.

Contoh lain, seorang pria kaya yang baru saja ditinggal mati istrinya bisa jalan-jalan ke luar negeri atau tempat wisata lain untuk menghibur dirinya. Berbeda dengan orang yang tidak memiliki tingkat sosial ekonomi yang memadai, maka mereka hanya larut dalam kesedihan.

8. Keyakinan Spiritual

Keyakinan spiritual seseorang sangat besar pengaruhnya terhadap proses kehilangan atau berduka. Orang religius lebih tenang dan tabah menghadapi kehilangan dan kematian. Perawat harus memahami agama yang dianut klien agar dapat memfasilitasi sesuai keyakinan klien.

c. Tahapan Berduka

Kubler-Ross menggambarkan tahapan berduka terdiri dari lima tahap diantaranya:
  1. Menolak (denial)
  2. Marah (anger)
  3. Tawar-menawar (bargaining)
  4. Tertekan (depresi)
  5. Menerima (acceptance).
Tahapan Berduka Kubler Ross

 Tahap Respons Perilaku
Denial (menolak)
  • Menolak untuk percaya bahwa kehilangan terjadi.
  • Tidak siap menerima kenyataan, misal: menggunakan prostesis setelah kehilangan kaki. 
Anger (marah)
  • Klien atau keluarga bisa langsung marah kepada perawat atau staf rumah sakit, tentang kejadian yang normalnya tidak akan mengganggunya.
Bargaining (tawar menawar)
  • Mencari cara untuk menawar kehilangan.
  • Mengekspresikan perasaan bersalah atau takut akan hukuman terhadap dosa yang lalu, nyata atau imajinasinya.
Depresi (tertekan)
  • Berduka cita apa yang telah terjadi dan apa yang tidak dapat terjadi.
  • Bisa berbicara dengan bebas (misal, tentang kehilangan yang lalu: kehilangan pekerjaan), atau bisa juga menarik diri.
Acceptance (menerima)
  • Bisa menurunnya ketertarikan pada sekitarnya dan support seseorang.
  • Mempunyai keinginan untuk memulai membuat rencana, misal: akan, prostesis, merencanakan kehidupan selanjutnya.

Secara normal berduka mungkin singkat atau dapat diantisipasi. Berduka singkat (abbreviated grief) adalah singkat, tetapi perasaan yang sebenarnya. Kehilangan suatu benda mungkin saja seseorang merasa tidak begitu penting untuk berduka, atau bisa digantikan dengan benda lain yang nilainya sama atau hampir sama. Antisipasi duka (anticipatory grief) adalah pengalaman yang lanjut pada suatu kejadian.

d. Usia dan Dampak Kehilangan

Di bawah ini digambarkan tentang perkembangan konsep tentang kematian berdasarkan tahapan usia.

Perkembangan konsep kematian berdasarkan tahapan usia

 UsiaKepercayaan/Sikap 
Bayi sampai 5 tahun
  • Tidak tahu konsep kematian. Bayi merasakan bentuk perpisahan berdasarkan pengertiannya kemudian tentang kematian.
  • Mengembangkan sikap immobilitas dan tidak beraktivitas sebagai sikap kematian.
5 sampai 9 tahun
  • Mengerti bahwa kematian adalah final. Percaya bahwa kematiannya sendiri bisa dicegah/dihindari.
  • Menghubungkan mati dengan serangan dan penyiksaan.
9 sampai 12 tahun
  • Mengerti kematian sebagai akhir dari hidup yang tak dapat dielakkan. Mulai mengerti tentang kematian diri sendiri.
  • Mengekspresikan ide tentang kematian dari orang tua atau orang dewasa lain.
12 sampai 18 tahun
  • Takut dengan sesuatu dengan kematian.
  • Membayangkan kematian dapat didefinisikan, kematian dapat terjadi akibat perilaku, misal: ngebut di jalan, penganiayaan.
  • Jarang berpikir tentang kematian, tetapi memandangnya dalam agama dan istilah filosofis.
  • Masih memegang konsep dari tahapan perkembangan sebelumnya.
18 sampai 45 tahun
  • Memiliki sikap terhadap kematian dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan budaya.
45 sampai 65 tahun
  • Menerima kematian sendiri.
  • Tidak menerima kematian orang tua dan teman sebaya.
  • Pengalaman puncak kecemasan kematian.
65 tahun keatas
  • Takut akan sakit yang lama.
  • Tidak menerima kematian anggota keluarga dan teman sebaya.
  • Melihat kematian sebagai mempunyai arti yang banyak, misal: bebas dari sakit, reuni dengan anggota keluarga yang mati terdahulu

e. Gejala Berduka

Secara fisiologi, tubuh merespons pada kejadian atau antisipasi kehilangan dengan reaksi stres. Perawat mengkaji berduka klien dan keluarga tentang kehilangan untuk mendeteksi fase atau tahap berduka. Gambaran gejala berduka adalah sebagai berikut:
  • Distres somatic yang berulang
  • Rasa sesak di dada
  • Tercekik atau bernafas pendek
  • Merasa kosong di perut
  • Menarik napas panjang
  • Kehilangan kekuatan otot